CYTW Untuk Siapa? (Sebuah Cerita Pendek)

“Sudah mas… saya nyerah!” Pak RT mengangkat tangan. Apa boleh buat, kekalahan 4-0 itu sangat telak. Daripada semakin malu ya mungkin lebih baik menyerah. Tumben amat malam minggu ini aku menang catur lawan Pak RT. Tidak biasanya Pak RT kalah beruntun sampai empat kali. Sambil membantu Pak RT merapikan papan catur aku interogasi Pak RT.

“Tumben pak??….”

“Iya ini Mas, pusing saya dari kemarin.”

“Pusing kenapa pak?” tanyaku.

“Yaah… pokoknya kalau saya dapat 50 juta saja, langsung saya lepas ini RT!”

“Lho… memang ada apa, Pak?”

“Pusing banget, Mas…. Mas Tom kan tahu anaknya Pak Bali, magrib tadi meninggal?”

“Lah, apa hubungannya dengan pusingnya Bapak?”

“Pak Bali minta biaya pemakaman diurus RT. Ya saya nggak mau. Kas RT saja kosong. Tapi pak Bali ngotot karena sudah iuran setiap bulan. Akhirnya ya saya janjiin besok saya cariin kayu buat nisan.”

“Wah jadi Pak RT yang kena bantalan.”

“Itulah Mas…. Makanya kalau saya dapat 50 juta saja, saya sudah nggak mau jadi Ketua RT lagi. Apalagi kondisi anak saya kan Mas Tom juga tahu,” Pak RT melanjutkan keluh kesahnya. Ia ceritakan bagaimana ia yang sudah lansia menjelang tujuh puluh tahun terpaksa jadi Ketua RT karena ketua RT terpilih menjadi ketua RW. Warga tidak mau ada pemilihan RT baru, dan meminta wakil ketua yang menjadi Ketua RT. Ia keberatan karena sudah lansia, tidak punya penghasilan dan pekerjaan tetap, sementara anaknya mengalami keterbelakangan mental. Ia duda harus merawat sendiri anaknya. Istrinya meninggal beberapa tahun lalu. Bebannya semakin bertambah karena ia sendiri masih mengontrak.

Aku diam mendengar keluhan Pak RT, membayangkan betapa sulitnya dalam posisi Pak RT sekarang. “Pengurus lain bagaimana pak?

“Aaah…. malas, Mas. Mereka juga nggak bisa diandalkan. Ada kematian warga di RT tetangga saja, musti saya yang keliling kasih kartu sumbangan. Pengurus lain ogah, banyak alasan nolak membagikan kartu sumbangan. Tapi begitu dapat honor dari pemerintah, nanyaiiin mulu. Kan kesel jadinya.”

“Rapat terakhir bulan lalu diputuskan, kalau ada warga RT lain yang meninggal kita potong kas seratus lima puluh ribu tapi kartu kematian tidak diedarkan. Dari tiga bulan lalu sampai sekarang sudah ada delapan warga yang meninggal. Dari warga kita dua, sisanya dari RT lain. Kas habis terpotong terus. Iuran warga sepuluh ribu per bulan nggak nutup. Apalagi nggak semua warga mau iuran. Pusing kepala saya,” katanya sambil menghirup dalam-dalam rokok di mulutnya.

“Berarti harus rapat lagi, Pak. Bilang terus terang ke warga, kalau iuran tidak dinaikkan kas bakal kosong.”

“Iya Mas, mau nggak mau, paling habis tahun baru. Cuma yang soal kematian ini, keluarga Pak Bali ngotot, minta pemakaman besok pagi di Karet Tengsin itu ditanggung RT.”

“Ya mana bisa pak. Bapak bilang saja, iuran warga itu sebagai bentuk tanggung jawab warga ke wilayahnya sendiri. Lha kalo soal kematian ditanggung RT ya nggak bisa. Kan Pak RT bukan asuransi. Kalau mau ditanggung RT ya iurannya musti tambah, nggak cukuplah sepuluh ribu sebulan per KK dapat biaya pemakaman. “

“Iya ya Mas.”

“Iuran RT beda sama iuran kematian. Iuran RT itu kan fungsinya untuk merawat dan memelihara perlengkapan, peralatan, dan kegiatan RT. Contohnya iuran RT digunakan untuk beli lampu, terpal, kursi. Terus biaya beli lampu baru kalo lampunya mati, buat beli konsumsi kalau ada kunjungan dari kelurahan, atau kebersihan RW, keamanan dan sejenisnya. Begitu Pak.”

Pak RT manggut-manggut.

“Musti dirapatin lagi mas.”

“Harus, Pak, jangan ditanggung sendiri. Yang penting Pak RT ketemu keluarga Pak Bali dulu, jelaskan soal proses pemakaman besok, harus menggunakan dana dari keluarga Pak Bali sendiri.”

“Ya sudah, Mas, ke sana dulu yuk.”

“Nanti aja Pak, pas jenazahnya datang. Kan sekarang masih di rumah sakit.”

“Ya sudah ntar malam saja. Tenda sama lampu kan sudah kepasang. Eh… terima kasih Mas Tom.”

“Buat apa Pak?”

“Sudah jadi teman cerita!”

“Ooh iya pak RT, sama -sama. Saya pamit ya Pak, nanti kita ketemu di rumah Pak Bali sekalian jaga.”

Sampai di rumah, aku ceritakan semua kejadian tadi pada istri. “Kasihan juga Pak RT, ya pak?” kata istriku. “Apa celengan CYTW itu kita kasih buat Pak RT saja?”

“Ya boleh saja, Ma. Tapi bukannya Mama usul tahun ini CYTW mau dikasih ke tukang sol sepatu?”

“Iya sih… si Bapak Tukang Sol itu juga kasihan sebenarnya. Sudah tua, rumahnya jauh… tiap hari jalan kaki, kiosnya yang sederhana beberapa kali kena gusur. Itu Bapak juga sering bantu ngesol sepatu kita beberapa kali. Ongkos ngesol sepatu, juga murah. Rencana natal kita tahun ini, CYTW mau kasih buat dia saja.”

“Jadi bagaimana? CYTW mau mama kasih ke Bapak Tukang Sol atau Pak RT?”

Kami terdiam. Masih bingung Celengan Yesus Tuna Wisma atau CYTW mau diberikan kepada siapa. Masing-masing memiliki alasan untuk diberi bantuan tetapi celengan CYTW hanya ada satu. Celengan CYTW itu hasil dari kami sekeluarga mengumpulkan uang receh setahun ini. Niatnya, Natal ini akan diberikan kepada orang yang benar-benar membutuhkan di dekat kami atau yang kami kenal. Hasilnya mungkin tidak besar tetapi pasti sangat membantu bagi yang menerima.

“Jadi mau diberikan kepada siapa, Ma?”

“Bingung aku, Pak. Kita pergi misa natal saja dulu, siapa tahu ada pencerahan.”

“Hayuuk…..” *** mastom

You may also like...

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *