Natal yang Menakutkan (Sebuah Cerita Pendek)

Natal, bagi sebagian orang berarti kado dari Sinterklas. Sebagian yang lain berarti waktunya belanja besar-besaran. Lainnya lagi berarti kesempatan untuk bersyukur dan merayakan liburan akhir tahun bersama keluarga, tapi tidak bagi Andi. Natal berarti menghadapi ketakutan terbesarnya, bertugas sebagai pemegang wiruk. Bertahun-tahun jadi misdinar, ia belum pernah sekalipun memegang wiruk. Begitu ia mendengar mendapat tugas membawa wiruk, ia langsung membayangkan rasanya kena panas dan risiko bila tiba-tiba panas wiruk membuatnya panik, bisa-bisa mengacaukan suasana.
Pergantian pengurus baru membuat Andi tak berkutik. Mau tidak mau ia harus bertugas membawa wiruk. Ia gelisah, bagaimana caranya menghindar? Ia dekati Lukas, seniornya yang membagikan jadwal.
“Bro, aku tahu kalau sekarang udah ngga bisa tuker-tuker jadwal sembarangan, tapi aku ngga bisa tugas pas Natal karena aku sekeluarga bakal keluar kota saat itu,”.
“Kamu beneran keluar kota atau ngga mau tugas wiruk nih?” Lukas menjawab sambil matanya melirik curiga.
“Beneran keluar kota bro, baru balik awal tahun nanti,”
“Yakin nih? Oke, kalau gitu kita ketemu orangtuamu buat mastiin beneran keluar kota atau ngga.”
Andi gemetar, gugup. “Uhh…. eee…, orangtuaku lagi ngga disini, tapi beneran kok aku sekeluarga keluar kota.”
“Udah, ngaku aja. Kamu ngga mau tugas wiruk kan?”
Andi terdiam.
“Aku tahu semasa Markus jadi pembuat jadwal kamu sering tuker jadwal kalo kamu tahu bakal tugas jadi pemegang wiruk. Ayolah, udah lima tahun jadi misdinar masa ngga berani jadi pemegang wiruk,”
Andi masih diam, tak berkutik. Ragu menyerang pikirannya, haruskah ia jujur? Ia menarik nafas dalam-dalam. Perlahan, Andi memberanikan diri untuk jujur.
“Aku takut kena panas besi wiruknya bro, karena kalau kena aku bakal langsung panik dan mengacaukan tugas yang ada,” kata Andi.
“Hahaha……Tujuh tahun lebih aku menjadi misdinar, dan belum pernah sekalipun tugasku jadi kacau karena kena panas wiruk. Duuuh…. Masak masih diajarin megang wiruk??”
Hening….. Andi merasa jengkel dengan pertanyaan menyudutkan itu. Tapi faktanya kan memang demikian, ia mudah panik. Tapi masak lima tahun jadi misdinar tidak berani bertugas pegang wiruk??
“Gini saja…. ntar aku ajari cara pegang wiruk yang benar. Sekalian tugasnya bareng aku.”
“T..tapi,” balas Andi.
“Tapi apa? Udah, ngga usah takut. Mau sampai kapan kamu menghindari tanggungjawabmu sebagai pelayan Tuhan? Kita berdua sama-sama tahu kalau takut kena panas itu cuman alesanmu aja buat ngga tugas wiruk, bukan karena beneran takut,” balas Lukas.
Aaaarrgghh…. menjengkelkan. Andi membatin. Pada akhirnya ia pasrah.
Latihan persiapan misa natal dimulai. Hampir tiap malam berlatih. Untungnya Lukas rajin menemani sekaligus mengajari Andi, cara memegang wiruk dengan benar.
Waktu bertugas tiba. Andi datang lebih awal dari biasanya. Ternyata, ia masih kalah pagi dari Lukas.
“Hai Andi….siap ya?”
Andi menjawab dengan senyuman kecil.
“Tenang aja, aku bakal bantu ingetin kamu kalau kamu ada lupa,” kata Lukas. “Yang penting kalau kamu ada salah jangan panik. Kalemin aja,” lanjutnya.
Sebelum memulai tugasnya, Andi berdoa agar dia dapat fokus dan tidak membuat kesalahan atau mengacaukan misa ini. Apalagi, ini misa perdananya sebagai pemegang wiruk. Lukas, sembari memegang navikula, berdiri disamping Andi dan mengacungkan jempol ke Andi.
Asap putih dari wiruk sudah mulai tersebar, misdinar menunggu aba-aba untuk masuk. Lonceng pun dibunyikan, Andi dan Lukas memimpin barisan petugas liturgi. Lagu pembuka memeriahkan misa yang baru dimulai.
Misa terus berlanjut, dan tidak ada satu kesalahan pun yang dilakukan oleh Andi. Ketika berada dalam sakristi untuk menaruh wiruk sebelum masuk kembali, Lukas meyakinkan Andi bahwa mereka pasti akan menjalankan misa dengan baik. Andi masih gugup, ia berusaha mengingatkan dirinya agar tidak melakukan kesalahan. Tapi justru hal itu membuat Andi malah lupa harus melakukan apa.
Memasuki Doa Syukur Agung, Andi dan Lukas masuk dan melaksanakan tugas terakhir mereka. Ketika gong dipukul, suaranya menggema. Andi masih sibuk dengan pikirannya sendiri, melupakan tugasnya.
“Astaga, hampir aja lupa,” kata Andi dalam hati. “Hadeh, aku ngga bisa kayak gini lagi,” ia menyalahkan dirinya sendiri. Lukas yang melihat perubahan raut wajah Andi langsung memberi isyarat bahwa semuanya baik-baik saja, tidak ada yang perlu dikhawatirkan.
Misa selesai, seluruh petugas kembali ke sakristi. Andi dan Lukas mengembalikan wiruk dan navikula ke tempat yang sudah disediakan. Lukas pun menghampiri Andi.
“Udah, dibawa rileks aja. Kamu tadi memang buat kesalahan, tapi kamu juga cepat bertindak memperbaiki kesalahanmu. Ngga usah dipikirin lagi. Kamu harus ingat, udah berkali-kali kamu nolak jadi pemegang wiruk, tapi sekalinya tugas kamu sanggup tuh tanpa berbuat kesalahan fatal,” kata Lukas.
Andi hanya bisa diam sembari menenangkan dirinya sendiri.
“Sekarang kamu ngerti kan, kalau semua ini itu hanya ada di pikiranmu aja. Kalau kamu lebih fokus ke benar-benar menghayati tugasmu dan melayani Tuhan dibanding menjaga diri agar tidak berbuat salah, pastinya kamu bakal oke-oke aja. Pada akhirnya, kamu cuman nyusahin diri sendiri,” lanjut Lukas.
Andi mengangguk.
“Karena sekarang kamu udah paham, nanti Tri Hari Suci kita tugas bareng lagi, gimana?” tanya Lukas sembari merangkul pundak Andi. Andi tersenyum
“Nanti kita lihat,”
Andi melangkah pulang. Ia merenungi banyak hal. Natal ini, ia mendapatkan hal yang istimewa. Mungkin hadiah natal Andi tidak sehebat hadiah natal kebanyakan orang, tapi dia memastikan bahwa dia belajar akan satu hal penting; keberanian. Itulah hadiah natal untuknya.
Terkadang, yang diperlukan untuk mengambil sebuah langkah besar hanyalah keberanian, ditambah dengan kemauan dan keterbukaan untuk beradaptasi dengan segala kondisi. Memegang tanggungjawab yang besar diawali dengan berani mengambil tanggungjawab kecil. Tapi ini bukan tentang Andi. ***
(Bryan Chai)