Bertobatlah dengan Tulus

Yun. 3:1-5,10; 1Kor. 7:29-31; Mrk. 1:14-20

“Jangan mati-matian berjuang untuk sesuatu yang tidak bisa kita bawa mati!”

Tentu kita tidak asing dengan satu kata yang seringkali disebut dan didoakan oleh setiap orang beriman, yakni kata PERTOBATAN. Kita tahu dengan baik artinya, yakni suatu gerakan hati, batin seseorang yang sadar dan menyesal akan dosa (perbuatan yg salah atau jahat) dan berniat akan memperbaiki tingkah laku dan perbuatan dalam perjalanan hidup selanjutnya. Ya, itu pengertian sederhana, tetapi marilah kita merenungkannya lebih jauh, dalam konteks kita sebagai orang Kristen.

Dalam kisah-kisah kitab suci, ada perkembangan pemahaman tentang pertobatan dalam konteks Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru. Dalam konteks Perjanjian Lama, tindakan dosa terbesar yang dikatakan sebagai pelanggaran berat adalah ketika bangsa Israel menyembah Allah lain, selain YHWH. Tentu tidak heran, konteksnya waktu itu, bangsa Yahudi hidup di tengah berbagai peradaban yang hadir dan memiliki ilah-ilah (dewa-dewa) masing-masing yang disembah untuk memenuhi kebutuhan mereka. Maka, pewahyuan YHWH dengan jelas menyatakan bahwa perintah utama dan terutama adalah: “Akulah Tuhan, Allahmu, Jangan menyembah berhala, berbaktilah kepada-Ku saja, dan cintailah Aku lebih dari segala sesuatu!” Oleh karena itu, ketika suatu bangsa melakukan itu, murka Allah sudah menanti. Satu-satunya yang bisa menahan murka Allah adalah tindakan bertobat itu tadi.

Dalam bacaan I digambarkan dengan jelas, seruan pertobatan Nabi Yunus bagi Orang Niniwe agar Allah tidak menghukum bangsa ini. Untungnya, mereka sungguh bertobat dan terhindar dari berbagai bencana di hadapan mereka. Itulah ciri khas pertobatan Perjanjian Lama, yakni menyesali dosa untuk menghindari murka Allah. Ya itu baik, tetapi jika direnungkan lebih dalam sesungguhnya bentuk tobat yang seperti ini masih belum sempurna karena orang hanya bertobat untuk menghindari akibat yang lebih buruk bagi hidupnya. Pola tobat semacam ini masih didorong oleh satu motif negatif, yakni ketakutan akan murka Allah, belum sampai kepada ketulusan hati untuk melakukan kebenaran dan menjauhi dosa. Dalam bahasa gaul zaman ini, tobat semacam ini adalah pertobatan yang fake, sekedar peres untuk menyenangkan Tuhan dan menjauhi murkanya, bukan karena kesadaran bahwa dosa itu memang menghancurkan. Tentu saya tidak mengatakan bahwa pertobatan orang Niniwe itu tidak tulus, tetapi itu memang fase yang harus dilalui orang untuk memahami dan menghayati makna pertobatan yang sejati.

Oleh karena itu, kita perlu memahami pertobatan khas Perjanjian Baru. Di fase ini, pertobatan adalah sebentuk tawaran dan panggilan yang menggerakan kesadaran agar orang memilih yang baik, benar dan berkenan di hadapan Allah dengan kebebasannya, bukan dalam situasi keterpaksaan. Dalam bacaan Injil diserukan oleh Yohanes Pembabtis: “Waktunya telah genap; Kerajaan Allah sudah dekat. Bertobatlah dan percayalah kepada Injil!” Dengan demikian konsekuensinya jelas: di dalam kebebasan kita pertobatan merupakan suatu bentuk kemerdekaan, bukan lagi suatu keterpaksaan mengikuti kehendak Allah. Contoh konkretnya: “Saya tidak membunuh orang lain, bukan hanya sekedar supaya saya tidak dibunuh orang lain, tetapi karena saya sungguh menghayati betapa berharganya kehidupan seseorang yang dianugerahkan Tuhan. Saya berkata jujur bukan hanya karena saya tak ingin ditipu/dibohongi, tetapi karena sadar betul bahwa kejujuran merupakan kunci integritas pribadi yang baik dan beriman.

Jika motivasi pertobatan kita selama ini masih supaya saya tidak juga mengalami hal buruk, mari kita ubah sudut pandang kita! Kita berbuat baik bukan karena kita ingin di-baiki tetapi karena memang perbuatan itu bernilai dan bermakna bagi hidupku. Jangan pernah mengharapkan bahwa tindakan baik dan pertobatan kita mendatangkan hal yang baik juga untuk hidup kita di dunia ini, karena belum tentu terjadi demikian. Toh banyak orang baik yang tidak selalu enak dalam hidupnya, bahkan dijahati orang lain. Singkatnya, lakukanlah pertobatan dengan tulus, bukan hanya sekedar supaya menyenangkan Tuhan dan mengharapkan balasan berkat yang berlimpah dalam hidup, senang di dunia dan mati masuk surga. Jika demikian, mungkin kita memang belum tulus.

Jadi, seperti seruan Surat Rasul Paulus kepada Jemaat di Korintus: “Waktu telah singkat!” Bertobatlah selagi masih ada waktu, dengan tulus bukan hanya agar Allah senang dan semoga Ia berkati kita. “Jangan mati-matian berjuang untuk sesuatu yang tidak bisa kita bawa mati!” Semoga panggilan pertobatan hari ini sungguh menggerakan hati kita untuk bertobat dengan Tulus! Tuhan memberkati kita semua. Amin!

[Rm. Eduard Salvatore da Silva, OFM]

You may also like...