MENJADI BESAR DENGAN MELAYANI YANG KECIL

Di saat Gereja kagum akan Yesus Kristus sebagai Raja Semesta Alam yang mulia dan berkuasa, St. Fransiskus Assisi justru tertarik dan kagum dengan kenyataan bahwa Kristus yang mulia itu justru mau merendah dan menjadi manusia. Bahkan ia menjadi manusia bukan sebagai manusia yang punya jabatan tinggi atau dari keluarga bangsawan dan kaya raya tetapi justru hadir di tengah keluarga sederhana seorang tukang kayu yang menikahi wanita sederhana: keluarga Yusuf dan Maria. Oleh karena itu dalam merayakan Natal, Ketika banyak gereja merayakannya dengan hiasan yang luar biasa meriah dan banyak yang berwarna keemas an Fransiskus justru mengajak penduduk di kota Greccio untuk membuat kendang yang hina lengkap dengan domba dan sapi karena ia ingin merasakan dengan indranya sendiri keadaan di saat Kristus demi kasih-Nya yang besar rela menjadi manusia tak berdaya: seorang bayi mungil, anak kecil. 

Di sinilah kita temukan semacam paradoksal Injili. Injil menyadarkan kita akan hal hal yang sebenarnya bertolak belakang seperti Allah yang mahakuasa namun sudi menjadi manusia yang sederhana, miskin, hina dan kecil. Kenyataan ini membawa konsekuensi dalam hal mencapai kesempurnaan Injil. Kesempurnaan Injil tidak dicapai dengan daya kekuatan, kemuliaan, kebesaran dan kekuatan duniawi namun justru sebaliknya dari kesediaan untuk merendahkan diri, untuk dianiaya demi nama-Nya, bahkan untuk berani kehilangan nyawa. “Karena barangsiapa mau menyelamatkan nyawanya, ia akan kehilangan nyawanya; tetapi barangsiapa kehilangan nyawanya karena Aku, ia akan menyelamatkannya (Luk. 9:24). Jalan paradoksal injili lainnya kita temukan dalam Injil hari ini.

Injil hari ini mengisahkan bagaimana Yesus mengajarkan kepada para murid akan jalan kesempurnaan Injili yang akan dirintis oleh Yesus sebagai “Anak Manusia” yang harus mengalami jalan perendahan dengan disiksa dan dibunuh untuk mencapai kebangkitan. Meskipun Yesus mengakui bahwa diri-Nyalah Mesias, Putra Allah namun supaya pemahaman para murid akan gelarnya itu tidak kabur oleh pemahaman bangsa Israel waktu itu yang memahami Mesias lebih bersifat politis. Bangsa Israel yang saat itu sedang dijajah oleh bangsa Romawi mendambakan kedatangan Mesias yang dibayangkan akan datang untuk mengembalikan kejayaan bangsa Israel seperti pada zaman Raja Daud dengan mengalahkan bangsa Roma. Namun bukan demikianlah Mesias yang dikehendaki Allah dan yang akan diwahyukan Allah melalui Putra-Nya Yesus Kristus. Mesias yang mau dijalankan Yesus adalah Mesias seperti yang dinubuatkan oleh nabi Yesaya dalam Yes.42:1-4 yakni Hamba Yahwe yang harus menderita demi menanggung dosa manusia. Dengan tidak menggunakan kata Mesias dan lebih memakai Anak Manusia Yesus menekankan kerendahan hati-Nya.

Namun pewartaan Yesus tersebut kiranya tidak dipahami oleh para murid-Nya terbukti bahwa mereka sesudah mendengar dari Yesus berkaitan dengan misi-Nya itu justru berdebat soal siapakah yang terbesar di antara mereka. Maka Yesus menyadarkan mereka akan jalan paradoksal lain selaras dengan kesempurnaan Injil yakni bahwa untuk menjadi yang terbesar justru harus mau menjadi yang paling rendah dan bahkan menjadi bawahan semua orang dengan mau menjadi pelayan bagi semua. Itulah jalan perendahan hati Anak Manusia. 

Yesus kemudian menunjukkan bahwa menjadi pelayan, menjadi orang kecil bukanlah hal yang menyedihkan atau perlu dihindari meski berlawanan dengan semangat zaman ini di mana orang mengira akan menjadi besar jika bisa menguasai yang lain.  Dalam paradigma Injil Yesus menunjukkan kepada para murid dengan mengambil seorang anak kecil ke tengah-tengah mereka supaya menjadi pusat perhatian para murid bahwa anak kecil ini meski kadang diremehkan banyak orang dewasa namun dapat menjadi utusan Allah. Dan kalau anak itu menjadi utusan Allah maka semua yang menghormatinya dengan demikian menghormati Tuhan sendiri. Kita diingatkan bahwa kita seperti anak kecil itu adalah pribadi yang lemah, yang kecil, namun kitab isa menjadi besar bila Allah berkenan menjadikan kita utusan-Nya, berkenan berkarya melalui diri kita. Oleh karena itu benarlah selaras dengan kesempurnaan Injil bahwa jalan untuk menjadi besar adealah justru mau menjadi yang terkecil dan mau menjadi pelayan semua orang.

You may also like...

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *