Renungan Hari Minggu Adven IV
[Bacaan Pertama: Mi 5:1-5a; Bacaan Kedua: Ibr 10:5-10;
Bacaan Injil: Luk 1:39-45]
Apakah Saudara Telah Mempersiapkan Diri
Untuk Menyambut Kelahiran Sang Immanuel?
Hari ini, kita memasuki Minggu Adven IV, Minggu terakhir bagi kita untuk persiapan Natal. Kita diajak untuk meneladan Bunda Maria yang mempersiapkan kelahiran Yesus dengan teladan kehidupan yang penuh iman dan penuh syukur. Panggilan menjadi ibu Tuhan bagi Bunda Maria bukanlah panggilan sederhana. Dia harus melewati berbagai tantangan yang tidak mudah. Maria, setelah menerima kadatangan Malaikat Gabriel bergegas mengunjungi Elisabet saudarinya (Luk 1:39).
Momen pertemuan Maria dan Elisabeth ini menjadi momen yang menarik dan memberi inspirasi rohani yang umat Kristiani. Pengalaman manusia, jika lama tidak berjumpa dengan orang-orang yang dekat dengannya menimbulkan rasa rindu yang mendalam dalam dirinya. Kerinduan ini terobati manakala dia bisa berjumpa dengan mereka itu (orang-orang yang dekat itu). Banyak ekspresi yang dinyatakan/diungkapkan saat perjumpaan itu terjadi. Ada yang berangkulan, ada yang seakan tidak percaya atas perjumpaan yang terjadi (melongo –kadang orang spontan mengatakan semalam mimpi apa sehingga bisa jumpa seperti itu?), ada yang bahkan meneteskan air mata sebagai ungkapan kegembiraan atas perjumpaan yang terjadi itu. Hal yang sama juga terjadi dalam diri Maria dan Elisabeth. Kunjungan Maria kepada Elisabeth, Saudarinya itu, menghadirkan kebahagiaan, kegembiraan, dan sukacita tak terkatakan.
Pada kesempatan ini, mari kita bersama belajar dari tokoh-tokoh iman, yang ditampilkan kepada kita dalam bacaan Injil hari ini yaitu: Maria, Elisabeth, dan Yohanes Pembaptis. Pertama, Bunda Maria. Maria, setelah menerima kadatangan Malaikat Gabriel bergegas mengunjungi Elisabeth saudarananya (Luk 1:39). Jarak yang ditempuh paling sedikit 150 km di daerah perbukitan, karena Maria tinggal di wilayah utara-daerah Yudea, sementara Elisabeth tinggal dekat Yerusalem di wilayah selatan. Jarak 150 km kemungkinan hanya ditempuh dengan jalan kaki. Kalau kecepatan rata-rata 5 km/jam, paling tidak memakan waktu 30 jam (sehari semalam lebih). Pasti melelahkan dan berisiko, apalagi pada malam hari. Apalagi ia harus naik-turun perbukitan menempuh jarak sejauh itu, seorang diri lagi! Akan tetapi, ia bisa menempuh jarak yang jauh dan tantangan melewati perbukitan itu karena ada semangat yang luar biasa dalam dirinya.
Dari sini, kita belajar bahwa berkat dan kasih karunia yang kita terima, tidak untuk kita simpan bagi diri kita sendiri tetapi untuk kita bagikan kepada sesama. Dalam berbagi berkat, kasih karunia dan sukacita, hendaknya kita juga berani berkorban, berani berjerih lelah, dan berani menghadapi resiko karena yakin bahwa Tuhan selalu menyertai kita. Hal ini sekaligus berarti harus ada dalam diri kita keikhlasan, ketulusan, dan kesediaan total. Sebab, jika tidak ada hal-hal seperti ini maka yang terjadi selanjutnya adalah keengganan untuk berbagi (pelit), pertimbangan untung-rugi (orang mulai hitung-hitungan), dan lain-lain.
Kedua, Elisabeth. Sebagai tanggapan atas kehadiran Maria yang membawa sukacita dan berkat, Elisabeth pun penuh dengan Roh Kudus sehingga hatinya bersukacita dan mulutnya mengucapkan berkat (Luk 1:42). Dengan demikian, perjumpaan antara Maria dan Elisabet merupakan perjumpaan yang membuahkan sukacita dalam Roh Kudus. Juga merupakan perjumpaan yang saling berbagi berkat.
Mari kita belajar dari Elisabeth untuk menerima kehadiran setiap orang dengan penuh sukacita. Kalau kita selalu menerima kehadiran setiap orang –keluarga (suami/istri, anak, saudara/saudari), tetangga, rekan kerja, dan lain-lain– dengan penuh sukacita, apa pun keadaan mereka, pasti perjumpaan-perjumpaan dan hidup bersama kita akan diwarnai sukacita. Dalam suasana itulah, kita tidak akan saling mengumpat dan mengutuk, memfitnah dan meremehkan, mencaci dan membenci, tetapi saling memberkati, memuji, menghormati, dan menghargai.
Ketiga, Yohanes Pembaptis. Sewaktu Maria berkunjung ke rumah Elisabeth, usia Yohanes di rahim Elisabeth sudah enam (6) bulan lebih. Janin berusia enam (6) bulan sudah mampu mendengarkan suara-suara dari luar, dan mampu merasakan apa yang dirasakan oleh sang ibu. Artinya, Yohanes sudah bisa mendengarkan suara dari luar, yaitu percakapan Maria dan Elisabet yang saling berbagi salam dan berkat. Ia juga bisa ikut merasakan kegembiraan dan sukacita ibunya sehingga melonjak kegirangan (Luk 1:44). Namun, yang lebih penting dari semua itu adalah, Yohanes melonjak kegirangan karena ia mampu menangkap kehadiran Tuhan yang tidak kelihatan karena tersembunyi dalam rahim Maria.
Maka, belajar dari Yohanes Pembaptis, kita pun diharapkan untuk peka dan mampu menangkap/menyadari kehadiran Tuhan yang tidak kelihatan dan tersembunyi di balik berbagai macam peristiwa yang kita lihat, kita dengar dan kita alami. Paus Fransiskus mengatakan bahwa “dunia sekarang ini sedang bising karena invasi komunikasi” melalui berbagai macam bentuk kemajuan teknologi. Invasi komunikasi ini membuat orang hampir-hampir tidak sanggup untuk membedakan lagi antara yang benar dari salah, yang sejati dari palsu, yang otentik dari artifisial. Salah satu contohnya adalah meskipun jelas sekali orang melakukan kesalahan, tetapi hal itu tidak diakui. Bahkan yang terjadi selanjutnya adalah melemparkan kesalahan pada orang lain, berjuang mati-matian untuk membela dan mempertahankan diri dari perbuatan yang salah itu. Dan, ironisnya lagi adalah banyak orang bahkan mendukung dan membela yang salah itu. Orang berkompromi melakukan kesalahan, ramai-ramai membela kesalahan dan ketimpangan. Aneh bin ajaib!
Nurani orang menjadi tumpul sehingga tidak sanggup lagi membedakan antara yang benar dari salah, yang sejati dari palsu, yang otentik dari artifisial; dan bahkan manusia sendiri tidak lagi berdaya untuk menangkap/menyadari/menyingkap kehadiran Tuhan dalam seluruh pengalaman hidupnya. Akibatnya adalah Tuhan hanya dibutuhkan manakala manusia mengalami kesulitan hidup dan sudah tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Bahkan, ketika dia sedang dalam kesulitan hidup tidak jarang orang tidak hanya tidak menyadari kehadiran Tuhan tetapi ikut memvonis bahwa Tuhan tidak baik, tidak adil, tidak ada, tidak peduli. Anehnya, ketika mengalami sukacita, keberhasilan, dan kebahagiaan, orang kurang atau bahkan tidak melihat/menyadari bahwa Tuhan itu baik, ada, adil, peduli, dan lain-lain. Itulah manusia! Natal tinggal hitungan hari saja. Oleh karena itu, mari kita wujudkan pesan-pesan yang kita peroleh hari ini dalam kehidupan kita sehari-hari. Kita tidak hanya diajak untuk terus menata hidup kita agar pantas menyambut kelahiran Sang Immanuel, tetapi juga; pertama, kita diundang untuk saling berbagi berkat, kasih karunia dan sukacita, sekalipun harus disertai pengorbanan, kelelahan dan berbagai macam resiko yang harus kita tanggung. Kita dipanggil Tuhan untuk menjadi pembawa (saluran) berkat bagi yang lain dalam kehidupan kita. Kita percaya bahwa Tuhan selalu menyertai kita. Kedua, kita diajak untuk berani menerima setiap orang dengan penuh sukacita, apa pun keadaan mereka. Dengan demikian, kehidupan bersama kita akan mengalami damai sejahtera karena tidak ada lagi saling memaki dan mengutuk, memfitnah dan meremehkan, mencaci dan membenci, tetapi saling memberkati, memuji, menghormati, dan menghargai. Dan ketiga, kita diajak untuk semakin mampu dan peka menyadari kehadiran Tuhan yang tidak kelihatan dan tersembunyi dibalik berbagai macam peristiwa yang kita lihat, kita dengar dan kita alami. Kalau natal berarti “Hari ini telah lahir bagimu Juru Selamat, yakni Kristus Tuhan” (Luk 2:11), maka sebenarnya Yesus setiap hari hadir dalam kehidupan kita. Semoga, kita semakin mampu dan peka untuk menyadari dan merasakan kehadiranNya dalam seluruh hidup kita. AMIN***
Rm. Jimmy Hendrik Rance Tnomat, OFM