Renungan Hari Minggu Biasa XXIII: “Belajar Kebijaksanaan Hidup”
Renungan Hari Minggu Biasa XXIII
Belajar Kebijaksanaan Hidup
Bacaan I: Keb. 9:13-18, Bacaan II: Flm. 9b-10,12-17, Bacaan Injil: Luk. 14:25-33
Hari ini bersama Gereja sejagat kita memasuki HM Biasa XXIII. Gereja Indonesia, secara khusus, menetapkan hari ini sebagai HM Kitab Suci Nasional dan selama bulan September ini dijadikan sebagai Bulan Kitab Suci Nasional (BKSN). Tema BKSN 2022 ini adalah “Allah Sumber Harapan Hidup Baru”.
Dengan mengkhususkan bulan September sebagai BKSN, kita disadarkan untuk mencintai KS, membaca, merenungkan, dan menghayatinya dalam hidup karena kita semua tahu bahwa KS adalah pedoman hidup bagi kita sebagai orang beriman. Di dalam Kitab Suci, Allah menyampaikan segala hal yang mesti kita lakukan untuk memperoleh keselamatan. Atau dapat saya bahasakan bahwa di dalam Kitab Suci, kita menemukan kebijaksanaan hidup yang menjadi pedoman bagi hidup kita. Sebab, tidak bisa kita mungkiri bahwa kebijaksanaan itu diperlukan untuk hidup kita sebagai manusia, terutama dalam mengambil keputusan. Dengan memiliki kebijaksanaan, kita akan dimampukan untuk memilah-milah antara yang perlu dan tidak perlu, antara yang penting dan tidak penting, antara yang baik dan buruk, antara yang benar dan salah; teristimewa untuk melihat mana kehendak Allah dan mana kehendak diri sendiri. Kita akan mampu memiliki kebijaksanaan kalau melibatkan Kebijaksanaan Allah dalam seluruh gerak hidup kita.
Hal ini jelas sekali diuraikan kepada kita dalam bacaan pertama. Kitab Kebijaksanaan mengajari kita bagaimana harus bersikap di hadapan Tuhan. Tuhan adalah sumber kebijaksanaan. Maka kita yakini bahwa IA menunjukkan kepada kita apa yang sesungguhnya menjadi rencana dan kehendak-Nya terhadap diri kita masing-masing (bdk. Keb. 9:13-18). Dengan demikian di hadapan Tuhan kita dapat memahami makna hidup kita yang sesungguhnya. Terkadang pula dalam hidup sehari-hari kita dihadapkan pada berbagai macam persoalan yang tidak dapat kita duga bahkan sulit atau tidak kita mengerti. Persis seperti apa yang dikatakan penulis Kitab Kebijaksanaan, “Siapa gerangan sampai mengenal kehendakMu, kalau Engkau sendiri tidak menganugerahkan kebijaksanaan, dan jika Roh KudusMu dari atas tidak Kauutus?” (Keb.9:17).
Kita hanya mungkin bisa mengenal kehendak Tuhan jika diri kita dikuasai oleh Roh Tuhan sendiri. Dengan Kebijaksanaan yang berasal dari Allah, kita akan mampu memandang setiap persoalan yang kita hadapi bukan sebagai kutukan, nasib, dll tetapi melihat setiap persoalan yang kita jumpai sebagai bagian dari hidup yang membuat kita semakin matang menjalani kehidupan kita. Dengan Kebijaksanaan yang berasal dari Allah, kita pun akan mampu memandang sesama itu sebagai saudara bukan sebagai bawahan, lawan, saingan ataupun musuh. Dengan Kebijaksanaan dari Allah itu pula membuat kita memiliki kerelaan dan keikhlasan hati bukan keterpaksaan, sebagaimana kita dengarkan dalam bacaan kedua tadi (bdk. Fil. 9b-10.12-17).
Maka, saya ingin mengatakan bahwa membaca dan merenungkan Kitab Suci sebagai Sabda Allah yang tertulis, banyak mengajarkan kepada kita bagaimana bertindak dengan bijaksana dalam hidup kita setiap saat. Di sanalah kita banyak belajar mengenai kebijaksanaan hidup dengan bersumber pada Kebijaksanaan Allah.
Orang yang dengan setia melakukan kehendak Allah dan segala kebijaksanaanNya dalam hidupnya disebut murid Tuhan. Hal ini kita dengarkan dalam bacaan Injil tadi. Untuk dapat melaksanakan kehendak Allah, maka kita mesti; pertama, fokus kepada Allah (bdk, Luk. 14:26-27). Kecintaan terhadap keluarga memang sangat penting. Namun, kecintaan terhadap Tuhan, yang memberi kita keluarga, adalah yang terutama. Sebab, hidup bukan lagi menjadi milik kita seutuhnya tetapi untuk memuliakan Allah. Kedua, memiliki perencanaan (bdk, Luk.14:28-30). Seorang murid harus hidup dengan perencanaan. Seperti pembuat menara, ia harus merancang anggaran biaya sampai menara itu selesai dibangun. Kita harus hidup dengan rencana yang matang, bukan emosi sesaat. Ketiga, memiliki pertimbangan matang (bdk, Luk.14:31-32). Artinya, kita perlu pertimbangan yang matang dalam mengambil keputusan yang terbaik bagi diri dan sekeliling kita. Seumpama seorang raja, ia tahu kapan harus berdamai dan kapan harus menyerang. Ia mengenali kekuatan dan kelemahan dirinya. Keempat, memiliki manfaat bagi sesama (bdk, Luk.14:34-35), bahwa sebagai murid Kristus hidup kita harus bermanfaat bagi sesama. Seperti garam berfungsi memberikan rasa pada makanan dan menjadi pengawet dalam kebusukan. Jika garam tak ada fungsinya, ia tak akan terpakai lagi. Jika seorang murid tidak berpengaruh bagi sesamanya, ia telah kehilangan fungsinya (bdk. Mat.5:13).
Lebih dari itu, untuk dapat melaksanakan kehendak Allah, kita harus terlebih dahulu berani memikul salib hidup kita, mati terhadap segala bentuk keinginan diri sendiri, mampu melepaskan diri dari segala bentuk kelekatan, mampu menyangkal diri dan hanya hidup di dalam bimbingan Allah. Paus Fransiskus mengatakan bahwa “Hidup kita adalah sebuah perjalanan. Ketika perjalanan kita tanpa disertai salib… dan ketika kita mengaku sebagai murid Kristus namun menghindari salib, kita bukanlah murid-murid Kristus, Tuhan“.
Bila kita menyadari hal ini maka tidak ada sedikitpun cela bagi kita untuk melihat setiap persoalan yang kita jumpai sebagai bentuk ketidakpedulian atau kutukan dari Allah terhadap hidup kita. Tapi sebaliknya! Kita akan semakin bijaksana menjalani kehidupan kita dengan penuh keyakinan bahwa apa pun bentuk kehidupan yang saya jalani dan saya hidupi tidak lepas dari campur tangan Tuhan sendiri. Tugas saya adalah menyediakan diri untuk senantiasa melaksanakan kehendak Tuhan. Sebab, orang yang melaksanakan kehendak Allah, tidak bertindak secara serampangan melainkan mawas diri, penuh refleksi dan iman (bdk. Lukas 14:25-33). Tuhan memberkati! AMIN* [Rm. Jimmy Hendrik Rance Tnomat, OFM]