Renungan Hari Minggu “Hari Raya Santa Perawan Maria Diangkat Ke Surga”

Renungan Hari Minggu

“Hari Raya Santa Perawan Maria Diangkat Ke Surga”

Bacaan I: Why. 11:19a;12:1-6a.10ab Bacaan II: 1Kor. 15:20-26 Bacaan Injil: Luk.1:39-56

Belajar Dari MAGNIFICAT Maria:

Bersyukur, Percaya, dan Menjadi Berkat Bagi Sesama

Hari ini Gereja Katolik merayakan Hari Raya Santa Perawan Maria diangkat ke surga. Gereja Katolik mengajarkan bahwa Bunda Maria diangkat ke surga, berdasarkan Tradisi Suci yang sudah diimani oleh Gereja sejak lama, namun baru ditetapkan menjadi Dogma melalui pengajaran Bapa Paus Pius XII pada 1 November 1950, yang berjudul Munificentimtissimus Deus. Pada saat Paus Pius XII mengumumkan Dogma ini, ia menggunakan wewenangnya sebagai Magisterium, dan ia bertindak atas nama Kristus untuk mengajar umatnya. Dikatakan bahwa “…dengan otoritas dari Tuhan kita Yesus Kristus, dari Rasul Petrus dan Paulus yang Terberkati, dan oleh otoritas kami sendiri, kami mengumumkan, menyatakan dan mendefinisikannya sebagai sebuah dogma yang diwahyukan Allah: bahwa Bunda Tuhan yang tak bernoda, Perawan Maria yang tetap perawan, setelah menyelesaikan perjalanan hidupnya di dunia, diangkat tubuh dan jiwanya ke dalam kemuliaan surgawi” (MD 44). Doktrin ini berhubungan dengan Dogma Immaculate Conception/Maria dikandung tanpa noda, yang diajarkan oleh Bapa Paus Pius IX, 8 Desember 1854.

Dalam perayaan ini kita akan merenungkan makna Maria diangkat ke surga yang sangat relevan, penuh arti bagi hidup kita. Kenaikan Bunda Maria ke surga merupakan sumber harapan dan kegembiraan. Hidup kita sebagai orang beriman merupakan cakrawala kebahagiaan abadi. Kita umat Katolik percaya, Maria diangkat ke surga, karena Maria dikandung tanpa noda. Maria dibebaskan oleh Allah dari dosa, maka ia tidak mengalami konsekuensi dosa dan kematian yang akan kita alami. Kita percaya, berkat ketaatan dan kesetiaannya Bunda Maria pada akhir hidupnya di dunia ini diangkat dengan tubuh dan jiwa-nya kepada kemuliaan di surga.

Dalam Injil Lukas kita mendengar ungkapan kegembiraan luar biasa yang dialami Maria dan Elisabet. Kedua wanita itu berbagi rasa iman, harapan, dan kebahagiaan. Elisabet perempuan tua, yang bersuami namun mandul, Maria perempuan muda yang bertunangan namun mengandung. Terungkap dalam kisah itu betapa agung kuasa Allah untuk mengadakan dan memelihara kehidupan!

Yang menarik adalah sukacita dan kebahagiaan yang diterima dan dialami Maria, tidak membuat dirinya bangga apalagi menyombongkan diri sebagai Wanita terbaik yang dipilih oleh Tuhan. Maria dengan penuh kerendahan hati selain bersyukur dan menyadari panggilannya, tetapi juga tergerak untuk membagikan sukacita dan kebahagiaan itu kepada orang lain, Elisabet-Saudarinya. Kunjungan itu melahirkan pujian mendalam dari Elisabet dan pertanyaan penuh makna, “Diberkatilah engkau di antara semua Wanita, dan diberkatilah buah rahimmu. Siapakah aku ini sampai ibu Tuhanku datang mengunjungi aku? Sebab sesungguhnya, ketika salammu sampai ke telingaku, anak yang di dalam rahimku melonjak kegirangan. Sungguh, berbahagialah dia yang telah percaya, sebab Firman Tuhan yang dikatakan kepadanya akan terlaksana” (Luk.1:42-45).

Ada tiga makna dari ungkapan sambutan Elisabet, yaitu pertama, Maria disebut sebagai wanita yang diberkati karena terpuji di antara segala wanita. Dialah satu-satunya wanita yang dipilih untuk mengandung Anak Allah, atau yang Kudus dari Allah. Kedua, diberkatilah juga buah rahimnya, yaitu Yesus. Ketiga, Maria disebut bahagia oleh Elisabet karena ia telah percaya akan kebenaran sabda Tuhan.

Tanggapan Maria terungkap jelas dalam lantunan kidungnya yang disebut Magnificat. Maria menyadari bahwa ia dipanggil untuk terlibat dalam karya penyelamatan Allah. Maria menanggapi kebesaran dan perbuatan besar dari Allah dengan penuh sukacita sehingga ia melantumkan kidung sebagaimana kita dengarkan dalam bacaan Injil tadi. Dalam Magnificat itu, Maria meluapkan sukacita batinnya karena mengandung Putera Allah dalam rahimnya. Putera Allah itulah yang menggelorakan semangat iman yang besar padanya. Putera Allah itu pula yang menggerakkan Maria untuk membagikan kedamaian dan kegembiraan iman itu kepada Elisabeth, saudarinya.

Selain aspek ketaatan, kesetiaan, dan kesanggupan Maria, di dalam magnificat itu, ada pula dua hal lain yang dinyatakan kepada kita, yaitu pertama, sikap syukur. Maria bersyukur karena Allah memperhatikan dirinya yang hina dina. Ungkapan syukur itu disampaikan dengan penuh kerendahan hati: “jiwaku memuliakan Tuhan” (Luk.1:46). Maria tidak memegahkan diri karena Allah memilih dia, sebab alasan keterpilihan dirinya itu ada pada Allah, dan bukan karena kehebatan dirinya.  Panggilan yang diterimanya bukanlah sebuah prestasi yang mesti ia bangga-banggakan, tetapi suatu pemberian, satu karunia, dan satu rahmat dari Allah bagi dirinya.

Kedua, sikap percaya. Hal ini terungkap dalam fiatnya yang disampaikannya kepada Tuhan melalui malaikat Gabriel; “aku ini hamba Tuhan, terjadilah padaku menurut perkataanmu” (Luk.1:38). Dia pasrah pada kehendak Allah. Bagi Maria, iman pada tempat pertama berarti pasrah, tunduk, taat pada kehendak dan rencana Allah. Dia membuka dirinya seutuhnya untuk Tuhan dan karyaNya. Seluruh hidupnya merupakan ziarah panjang mematuhi kehendak Tuhan dan itu berlangsung dalam suka dan duka, dalam manis dan pahit, dalam senang dan susah.

Apa yang bisa kita pelajari? Pertama, kesadaran baru tentang kehadiran Allah di tengah-tengah kita. Dia hadir dalam diri kita sekaligus mendiami diri kita sebagai manusia, sebagaimana itu terjadi dalam diri Maria. Ia mendiami kita semua yang percaya kepadaNya. Dengan demikian, kita sebenarnya mengalami peningkatan harga diri sebagai anak-anak Allah. Pertanyaaannya untuk kita adalah apakah kita merasakan kehadiran Tuhan dalam hidup kita atau tidak? Apakah kita sungguh membuka diri kepada Tuhan, seperti Maria, agar Ia dengan kuasaNya bekerja melalui diri kita atau tidak? Ataukah kita masih terus dan terus menutup diri kita terhadap Allah yang hadir di dalam diri kita, Allah yang mau berkarya melalui kita?

Kalau memang kita merasakan kehadiran Tuhan dan membuka diri terhadapNya, sejauhmana kita sungguh mensyukuri berkat yang kita terima dalam hidup kita, sebagaimana diteladankan oleh Maria? Sudahkah kita membagikan syukur, sukacita, dan kedamaian yang kita terima kepada orang lain dalam hidup kita? Ataukah kita masih terkungkung dalam sikap egoisme, individualisme, sikap malas tau yang berlebihan dan mengesampingkan saudara lain dalam hidup ini?

Kedua, Allah hadir dan mendiami diri kita semua sebagai kenisah yang hidup. Pikiran Allah ini mengangkat martabat kita yang telah terpuruk oleh dosa. Pertanyaan bagi kita adalah bagaimana kita bisa membawa diri sebagai kenisah Allah yang hidup? Bunda Maria menjadi orang nomor satu yaitu penuh rahmat Allah, orang nomor satu karena hidup menurut kehendak Allah dan orang nomor satu dalam sikap pasrah, percaya dan bersyukur. Bagaimana dengan kita? Apakah kita masih bertahan untuk menjadi orang nomor satu dalam berbuat dosa? Kemalasan? Cuek sa\ tidak peduli dengan apa yang terjadi? Dalam menceritakan kejelekan dan kelemahan orang lain, memfitnah, atau bergosip? Hanya tahu banyak omong saja? Egois?

Ketiga, Maria percaya bahwa kehendak Allah sungguh yang sempurna dan amat baik bagi manusia. Maria pasrah-percaya sepenuhnya tanpa syarat. Sikap dasar Maria yang percaya dan pasrah ini berdampak atau berbuah yakni membawa kegembiraan bagi Elisabet dan anak yang dikandungnya. Dalam sikap-sikap selanjutnya kita dapat menemukan bahwa naluri cinta Maria selalu membawa Berkat bagi siapapun yang dijumpainya (misalnya dlm Yoh 2:1-11, Maria menolong keluarga yang berpesta di Kana ketika kehabisan anggur. Kehadiran Maria membawa berkat bagi keluarga itu). Pertanyaannya, apakah (seperti Maria) kehadiran, kunjungan, dan perjumpaanku dengan sesama juga mampu membawa atau menghadirkan kegembiraan, sukacita, damai, dan kebahagiaan? Bila kita seperti Maria membiarkan dikuasai oleh kehendak Allah, maka hidup kita pun akan memancarkan sukacita bagi sesama. Mari kita menata hati, pikiran, perasaan, sikap, perilaku, dan perkataan kita, agar mampu menghadirkan kegembiraan hidup yang sejati bagi sesama. Biarlah salam atau sapaan kita sekecil apapun bagi orang lain; menjadi sapaan penuh cinta yang menghadirkan Berkat Allah bagi siapapun yang mendengarkannya.

Kita dipanggil bukan untuk menjadi pribadi yang sukses, tapi dipanggil untuk membawa berkat bagi sesama. Semoga teladan Maria menjiwai hidup kita. AMIN*

[Rm. Jimmy Hendrik Rance Tnomat, OFM]

You may also like...

2 Responses

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *