Renungan Hari Minggu Prapaskah II: “Harus Bisa Turun Dari Gunung Kenyamanan Diri”

Renungan Hari Minggu Prapaskah II

Harus Bisa Turun Dari Gunung Kenyamanan Diri

Bacaan I: Kej. 15:5-12,17-18; Bacaan II: Flp. 3:17-4:1; Bacaan Injil: Luk. 9:28b-36

Bacaan Injil hari ini mengisahkan kepada kita tentang peristiwa Transfigurasi. Transfigurasi berasal dari bahasa Latin, transfigura (trans artinya mengatasi/melewati, figura artinya bentuk, figur, atau ketampakan). Transfigurasi yang dialami Yesus di atas gunung bukan sekadar aura yang keluar dari tubuh Yesus melainkan betul-betul bisa dikatakan sebagai ‘mukjizat terbesar’ Yesus secara khusus mengenai Diri-Nya sendiri. Rupa wajah Yesus berubah dan pakaian-Nya menjadi putih berkilau-kilauan (lih, Luk 9:29). Bukan cahaya atau aura yang utama, melainkan sungguh-sungguh mukjijat Yesus menampakkan Tubuh Mulia-Nya, suatu perubahan bentuk (transfigurasi) menjadi Tubuh Mulia. Tubuh mulia serupa itu juga dimiliki oleh para nabi dan orang-orang suci-Nya. Termasuk Musa dan Elia, yang dalam peristiwa transfigurasi di atas gunung bercakap-cakap dengan Yesus (lih Luk 9:30-31). Secara simbolis, penginjil Lukas meletakkan Musa sebagai representasi dari Hukum dan Elia sebagai representasi Para Nabi. Mereka sedang membicarakan tentang perutusan Yesus yang akan digenapi-Nya di Yerusalem, dan dalam diri Yesus telah menjadi pemenuhan dari Hukum dan Para Nabi.

Dalam peristiwa penampakan kemuliaan ini, Yesus dinyatakan sebagai “anakKu yang Kupilih” (lih Luk 9:35), suatu ungkapan yang menggarisbawahi perutusan-Nya. Dalam Luk 9:31 disebutkan bahwa Musa dan Elia berbicara dengan Yesus mengenai “tujuan perjalanan”-Nya yang akan dipenuhinya nanti di Yerusalem; ditolak oleh para pemimpin, dibunuh, tetapi dibangkitkan pada hari ketiga. Dengan tujuan perjalanan ini, tugas perutusan Yesus bisa dimaknai membawa manusia kembali kepada Tuhan maka perlu mendengarkan DIA(lih, Luk 9:35). Bagi saya, hal ini sekaligus mengajarkan kepada kita bahwa masa prapaskah menjadi masa untuk melihat Yesus seorang diri dan mendengarkan DIA. Hidup kristiani menjadi indah ketika kita mengangkat kepala dan melihat Yesus dan mendengarkan DIA hari demi hari. Banyak kali kita tidak mampu mendengarkan Yesus. Hati kita terlalu tegar dan telinga kita tidak difungsikan dengan baik. Padahal Dialah satu-satunya yang menyelamatkan kita. Dialah yang memberi penebusan yang berlimpah. Maka perlu kita mendengarkan DIA sekaligus menunjukkan kemuliaanNya dalam hidup kita setia hari. Biarlah orang mengakses kemuliaanNya dalam diri kita melalui perbuatan-perbuatan baik yang kita lakukan setiap hari bagi sesama.

Menarik pula bahwa peristiwa yang terjadi di atas gunung itu Yesus membawa tiga murid yaitu Petrus, Yakobus dan Yohanes. Ketiga murid ini terpesona menyaksikan peristiwa itu dan merasakan kenyamanan bersama Tuhan. Petrus dengan percaya diri mengatakan kepada Yesus: “Guru, betapa bahagiannya kami berada di tempat ini. Baiklah kami dirikan sekarang tiga kemah, satu untuk Engkau, satu untuk Musa dan satu untuk Elia” (Luk. 9:33).

Menurut saya, keinginan Petrus untuk tetap tinggal dalam “keadaan enak” di atas gunung itu merupakan suatu contoh keinginan kita manusia untuk tetap merasakan yang enak, aman, memuaskan, dan menyenangkan yang bersifat artifisial dan sementara. Keinginan Petrus ini memberikan gambaran jelas mengenai kita manusia yang lupa diri untuk ‘turun’ dari gunung kenyamanannya. Gunung kenyamanan terwujud dalam bentuk egoisme, individualisme, kemalasan, mau menang sendiri, ketidaksabaran, amarah, dengki, iri hati, serakah, kesombongan, dan kenikmatan sesaat dengan menghalalkan segala cara untuk dapat hidup berfoya-foya meskipun orang lain menderita. Hal-hal ini tumbuh dalam diri kita sebagai manusia kristiani sehingga mempengaruhi orientasi hidup kita, hanya memikirkan diri dan dunia sendiri, tak lagi mampu mendengarkan DIA, tak mempedulikan orang lain, sehingga tepatlah kata Paulus dalam bacaan kedua bahwa “kesudahan mereka ialah kebinasaan” (Flp. 3:19).

Dalam peristiwa kemuliaan di atas gunung itu, Yesus berhasil ‘menjinakkan’ kehendak Petrus dan teman-temannya yang ingin hidup dalam kenyamanan diri dan membawa mereka turun ke bawah, untuk kembali ke dunia (realitas hidup) dan berjuang di dalamnya. Ia ingin agar mereka (termasuk kita) masuk dalam pergumulan hidup dengan berusaha untuk menanggalkan dan meninggalkan (harus keluar dari zona kenyamanan diri!) dalam berbagai wujudnya yang sebetulnya hanya bersifat artifisial dan ‘menjamin’ hidup kita untuk sementara saja. Inilah makna tobat bagi kita. Bagi saya, masa puasa hidup kita bukan hanya masa puasa liturgis 40 hari! Tetapi, menjadi masa di mana kita membenahi diri dari hal-hal menyimpang (kenyamanan diri) sebagaimana saya utarakan di atas untuk membawa kita kepada gunung kebahagiaan yang paripurna. AMIN. ***[Rm. Jimmy Hendrik Rance Tnomat, OFM]

You may also like...

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *