Renungan Hari Minggu Prapaskah IV

Siapakah yang Hilang?

Bacaan I: Yos. 5: 9a.10-11 , Bacaan II: 2Kor. 5: 17-21 , Bacaan Injil: Luk. 15: 1-3. 11-32

 

Pace e Bene! Salam damai dan kebaikan!

Pada hari ini bersama seluruh Gereja kita memasuki Hari Minggu Prapaskah IV. Minggu Prapaskah IV dikenal juga dengan sebutan Minggu Laetare. Kata laetare, berasal dari Bahasa Latin yang berarti bersukacita. Sukacita kita sebagai umat Kristiani didasari pada kebaikan dan kerahiman Tuhan yang luar biasa. Tentang kebaikan Tuhan itu, pemazmur sampai mengatakan “Kecaplah, betapa baiknya Tuhan!!” Laku tobat dan puasa yang telah sepenuh hati kita jalankan selama Masa Prapaskah ini kiranya tidak berakhir sia-sia. Allah senantiasa mencurahkan kerahiman-Nya bagi umat-Nya yang bertobat dan menyesali dosa-dosa/kesalahan yang telah mereka lakukan.

Bacaan Injil pada hari ini menunjukkan secara jelas perihal Allah yang Maharahim. Allah yang Maharahim itu digambarkan oleh Yesus sebagai sosok ayah. Sang ayah menerima kedua anaknya dengan karakter masing-masing. Ia menerima mereka dengan penuh kerahiman, mendidik mereka tanpa amarah ataupun kebencian. Meskipun kita tahu, kedua anak itu berlaku kurang ajar terhadap dirinya. Mari sejenak kita bertanya, siapakah anak yang hilang itu?

Sekilas, kita akan langsung menjawab bahwa yang hilang itu adalah anak bungsu. Terhadap jawaban itu, tentu saja kita memiliki alasan yang masuk akal. Anak bungsu telah melakukan perbuatan yang kurang ajar. Pertama, ia meminta bagian harta warisannya kepada ayahnya. Tindakan itu sama saja dengan mengharapkan agar orang tuanya segera meninggal, sebab biasanya orang tua akan membagikan warisan kepada anak-anaknya ketika mereka akan berpulang. Kedua, setelah mendapatkan harta yang diinginkannya, anak itu pergi meninggalkan orang tuanya. Hati dan pikirannya telah dipenuhi dengan harta dan kekayaan. Ia melupakan sang ayah dengan segala kebaikannya. Ketiga, si bungsu berfoya-foya menghabiskan harta yang diperolehnya tanpa terkendali. Betapa kurang ajarnya si bungsu itu!

Akan tetapi, kita kemudian mengetahui titik balik hidup si bungsu. Ia “ditampar” oleh pengalaman kejatuhannya. Ia jatuh miskin dan menjadi seorang penjaga babi serta makan pakan babi. Bagi masyarakat Yahudi, menjadi penjaga babi apalagi makan pakannya adalah pekerjaan dan tindakan yang hina. Si bungsu menyesal dan kembali kepada sang ayah dalam kekalahannya. Ia mengakui kesalahannya serta siap menerima konsekuensi akibat tindakannya. Rupanya, pengalaman menjadi guru terbaik dalam mengajarkan makna kehidupan yang sesungguhnya. Sang ayah memiliki kerahiman yang begitu besar. Ia menerima kembali si bungsu tanpa memandang kesalahan yang telah dilakukannya. Bahkan, sang ayah menerima si bungsu dengan begitu bersukacita sampai-sampai ia mengadakan pesta besar. Kata sang ayah, “Anakku yang hilang kini telah didapat kembali”. Si bungsu yang pernah hilang kini telah kembali dan berubah.

Akan tetapi, jika kita membaca perumpamaan ini secara saksama, tampak bahwa yang hilang bukan hanya si bungsu. Pada akhir kisah kita menyaksikan bahwa si sulung “hilang” dari rumah ayahnya. Rupanya kebaikan sang ayah pada si bungsu menimbulkan api cemburu dan iri hati dalam diri si sulung. Ia tidak ikut serta dalam pesta yang diselenggarakan ayahnya. Ia menganggap si bungsu sebagai orang paling hina sehingga dirinya tidak pantas untuk hadir di dalam pesta itu. Secara tidak langsung kita menemukan cara pandang si sulung terhadap adiknya. Ia menganggap dirinya lebih baik daripada adiknya. Ia tidak pernah mengkhianati ayahnya dan setia bekerja dengan ayahnya.

Selain itu, si sulung juga tidak pernah mensyukuri segala kebaikan yang telah ia rasakan selama hidup bersama dengan sang ayah. Ia menganggap dirinya seperti hamba yang melayani ayahnya selama bertahun-tahun, bukan sebagai anak yang semestinya memiliki hati penuh kebaikan seperti ayahnya. Secara fisik, si sulung memang selalu bersama ayahnya tetapi secara rohani dan batiniah, ia telah kehilangan rasa syukur—atas kebaikan dan cinta karena ada bersama sang ayah—dan kemampuan untuk mengampuni adiknya. Sampai bacaan Injil selesai, kita hanya mendengarkan perihal penyesalan si bungsu atas kesalahannya. Kita tidak mendengarkan pengampunan dan syukur dari si sulung. Jika si bungsu telah kembali, sampai akhir kisah si sulung “tak pernah kembali”. Si sulung telah menjadi anak yang hilang. Ia telah kehilangan rasa syukur dan kasih sayang.

Saudara-saudarai terkasih!

Kisah anak yang hilang ini adalah kisah kehidupan kita. Sebagian dari kita mungkin pernah berada pada situasi yang dialami oleh si bungsu. Ada saat ketika kita takabur, lupa diri, dan secara sengaja melupakan orang-orang yang telah berbuat baik kepada kita. Ada saat ketika kita salah memanfaatkan kebaikan-kebaikan atau rahmat kehidupan yang telah kita terima. Ada saat ketika kita fokus pada kesenangan duniawi dan melupakan Sang Pemberi Kehidupan. Mungkin ada yang telah menyesal dan bertobat seperti si bungsu sehingga ia mengubah cara hidupnya menjadi lebih baik. Mungkin juga ada yang tak kunjung sadar diri dan masih dalam situasi “foya-foya”. Masa prapaskah ini menjadi waktu yang tepat untuk mengubah diri, menyesali segala kesalahan dan bertobat.

Sebagian dari kita mungkin juga berada di pihak si sulung. Entah karena rajin beribadah atau berdoa dan berbuat amal, kita menganggap diri lebih baik dari orang lain. Lantas, dengan mudah kita menghakimi orang lain dalam kesalahan-kesalahannya. Kita dengan mudah menganggap orang lain lebih berdosa dibandingkan dengan diri kita sendiri. Kita sibuk membanding-bandingkan amal dan ibadah yang telah kita lakukan dengan jumlah dosa orang lain. Pada situasi itu, sebenarnya kita telah menjadi anak yang hilang. Kita kehilangan hati untuk memaafkan dan mencintai sesama dalam kerapuhan mereka. Kita kehilangan rasa syukur atas segala kebaikan yang telah Tuhan anugerahkan. Kita menyalahgunakan rahmat yang kita terima untuk menghakimi sesama. Inilah yang disebut sebagai kesombongan rohani. Hati-hati, dosa kesombongan rohani ini sangat dekat dengan orang-orang yang sering beribadah dan beramal, termasuk kaum rohaniwan-rohaniwati. Persis di sinilah letak kritik Yesus pada para ahli Taurat dan orang Farisi. Mereka menganggap diri lebih suci sekaligus memandang hina para pemungut cukai dan orang-orang berdosa.

Masa Prapaskah ini menjadi kesempatan bagi kita untuk bertobat dan merubah diri. Kita semua sama di hadapan Allah. Seorang pastor, frater, suster, ataupun umat awam memiliki kedudukan dan nilai yang sama di hadapan Allah, yakni sebagai manusia berdosa sekaligus sebagai anak-anak yang senantiasa dicintai-Nya. Sebagaimana dikatakan oleh St. Fransiskus, “seperti apa nilai seseorang di hadapan Allah, seperti itulah dirinya dan tidak lebih”. Allah mengasihi kita dalam keunikan serta dalam kerapuhan insani kita. Sudah sepantasnya kita berusaha untuk memiliki hati yang penuh kasih dan kerahiman seperti sang ayah dalam perumpamaan. Sudah saatnya kita kembali, menjadi anak-anak dengan hidup dan harapan baru. Semoga Tuhan memberikan kita kekuatan untuk mengubah hati kita yang keras dan kaku. Tuhan memberkati!!

Diakon Rio, Ofm

You may also like...

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *