Renungan Hari Minggu Prapaskah V: “Makna Pengampunan”
Renungan Hari Minggu Prapaskah V
Makna Pengampunan
Bacaan I: Yes. 43:16-21; Bacaan II: Flp. 3:8-14; Bacaan Injil: Yoh. 8:1-11
Kita semua pasti pernah merasakan dan mengalami pengalaman ketika melakukan kesalahan dan dimaafkan, atau juga sebaliknya kita memberikan maaf kepada orang yang melakukan kesalahan terhadap kita. Pertanyaannya adalah pertama, bagaimana perasaan Saudara/i sekalian ketika kita bersalah (bahkan termasuk melakukan kesalahan yang besar sekalipun) tetap dimaafkan dengan kasih saying, penuh ketulusan, dan kelembutan yang luar biasa? Tentu saja perasaan dominan yang muncul saat kita dimaafkan atau diampuni adalah senang, bahagia, terharu, bangga, atau perasaan yang tidak dapat terkatakan namun dihiasi dengan pipi yang basah karena indahnya pengampunan yang kita terima. Kedua, apa yang Saudara/i rasakan ketika memaafkan orang yang bersalah kepada Saudara/i? Perasaan yang muncul tentu saja bahagia, senang bahkan terharu.
Injil hari ini mengisahkan bagaimana seorang perempuan yang kedapatan berzinah ‘dilepaskan’ oleh Yesus, padahal ia sendiri sudah tahu hukuman yang harus diterima karena perbuatannya itu. Kita tahu bersama bahwa dalam hukum Taurat, Menurut hukum taurat, setiap orang yang kedapatan berzinah harus dihukum mati dan siapapun boleh ikut melemparkan batu kepada orang itu.
Para ahli Taurat dan orang Farisi, selain ingin ‘menegakkan’ hukum Taurat yang mereka ketahui tetapi juga dengan intrik buruk, tiba-tiba saja mengangkat Yesus menjadi hakim tanpa SK atas kasus persinahan tersebut dengan harapan bahwa Yesus (akan salah dalam) memberikan keputusan sebagaimana diatur dalam hukum taurat. “Keputusan” Yesus sangat mengejutkan semua orang, termasuk perempuan berzinah itu, “Barangsiapa di antara kamu tidak berdosa, hendaklah ia yang pertama melemparkan batu kepada perempuan ini” (Luk.8:7). Keputusan ini tidak saja membebaskan wanita berzinah ini dari hukuman mati tetapi juga mencegah orang banyak (para ahli Taurat dan orang Farisi) dari berbuat dosa yaitu dosa membunuh sesama manusia.
Ada beberapa hal menarik yang dapat kita renungkan bersama dari kisah tersebut, di antaranya pertama, Yesus menulis di tanah setelah Ia mengatakan kepada orang-orang Farisi dan Ahli Taurat “Barangsiapa yang tidak mempunyai dosa, silahkan melempar batu pertama.” Apa yang Yesus menggambarkan bagaimana Allah yang Maha Pengampun itu. Allah menulis dosa-dosa kita di tanah atau debu, agar dosa atau salah kita mudah dihapus karena terpaan angin. Allah tidak menulis dosa-dosa kita di batu, sebab tulisan di batu tidaklah mungkin akan mudah terhapus dan akan tetap abadi. Di hadapan Allah, dosa kita tidak abadi karena Ia senantiasa mengampuni dosa dan kesalahan kita serta tidak akan memperhitungkan besarnya dosa-dosa kita.
Kita sadar dan yakin bahwa Allah mengampuni dosa-dosa kita, tetapi persoalannya adalah apakah kita juga memiliki sikap hati penuh ketulusan seperti Allah kita untuk mengampuni dosa dan kesalahan sesama yang bersalah kepada kita? Harus kita akui bahwa cukup sulit untuk melakukan hal ini, sebab kerapkali yang terjadi adalah kita (berniat) membalas, dendam kesumat, membenci, menghakimi, bahkan berusaha untuk menyingkirkan mereka yang bersalah kepada kita.
Perlu kita ingat bahwa dosa adalah urusan dan kehendak Allah. Kita tidak berhak menyatakan kepada sesama bahwa ia berdosa atau tidak. Kita tidak berhak juga untuk ambil bagian dalam menghakimi orang lain. Yang hendak kita ikuti adalah teladan Allah bahwa Memaafkan adalah pintu utama dan terutama dalam kehidupan ini.
Kedua, makna pengampunan. Dengan memberi maaf dan ampun kepada orang yang bersalah kepada kita berarti kita sekaligus membebaskan diri dari dosa dendam kesumat, kebencian, dan amarah, sekaligus memberi ruang kebebasan (memerdekakan) orang yang bersalah itu dari rasa bersalah yang mendalam untuk memperbaiki diri dilandasi dasar kasih yang tulus bukan penuh akal bulus. Kita sekaligus membebaskan orang dari rasa takut yang berlebihan, karena menurut saya ketakutan membelenggu kebebasan orang, ketakutan juga menutup orang untuk mengekspresikan diri dalam cinta. Saya juga percaya bahwa di dalam kasih tidak ada ketakutan dan kasih yang sempurna melenyapkan ketakutan.
Ketiga, makna peneguhan. Ketika kita memberikan maaf dan ampun kepada orang lain yang bersalah kepada kita maka kita serentak pula meringankan beban orang lain. Yesus dalam bacaan Injil tadi meringankan beban berat yang dialami oleh perempuan berzinah tadi, yang dicap buruk, disingkirkan, dan dikorbankan. Yesus sekaligus memberikan peneguhan bahwa pendosa atau orang yang bersalah tidak dihukum. Ini juga bermakna bagi kita untuk tidak cepat menghakimi orang sebagai pendosa dan bersalah, yang perlu kita singkirkan karena dosa dan kesalahannya. Oleh karena itu, sebetulnya tidak ada ruang dalam diri kita untuk mudah menghakimi orang lain, dengan presepsi atau pikiran, kata-kata atau pun tindakan yang hanya akan menambah beban pada orang lain.
Keempat, makna perutusan. Dalam Injil jelas, setelah memberi maaf dan ampun kepada perempuan berdosa itu Ia kemudian mengutusnya untuk “pergi dan jangan berbuat dosa lagi.” Ia sekaligus mengajak kita sebagai pendosa untuk bermisi menjadi penuh cinta, lahir sebagai manusia baru dan mewartakan secara nyata pelbagai hal baik melalui pikiran, kata, dan tindakan nyata.
Oleh karena itu, marilah kita saling mengampuni bila ada orang yang bersalah terhadap kita karena kita pun sebagai orang berdosa dan bersalah telah lebih dahulu mendapat pengampunan dari Tuhan. Kata orang bijak, “tanpa kesaksian pengampunan, hidup tidak akan berbuah dan bersih… Bila tidak ada kasih pengampunan berarti persaudaraan dan kekeluargaan di dalamnya berciri egois. Bila tidak ada persaudaraan dan kekeluargaan (kurang rukun dan kurang memberi ampun) berarti ada yang keliru dalam penghayatan iman kita.” AMIN*** [Rm. Jimmy Hendrik Rance Tnomat, OFM]