Renungan Minggu IV: “Iri Hati Itu Menyiksa Diri”

Renungan Minggu IV

Iri Hati itu Menyiksa Diri

Bacaan I: Yer 1:4-5.17-19; Bacaan II: 1Kor 12:31-13:13
Bacaan Injil: Luk 4:21-30

Bapak, ibu, saudara/saudari, teman-teman muda, dan anak-anak yang dicintai Tuhan.
Salam damai dan kebaikan!

Dikisahkan seorang raja dan seorang teman masa kecilnya sedang bermain pisau. Dalam keasikan itu, tiba-tiba salah satu jari raja terpotong. Melihat kejadian itu, temannya langsung berkata, oh.. tidak apa-apa, semoga ini menjadi yang terbaik! Mendengar pernyataan temannya, sang raja lalu marah karena ia menganggap temanya tidak mengerti apa-apa tentang medis dan malah mendoakan semoga ini yang terbaik.

Raja itu lalu memerintahkan para prajuritnya untuk memenjarakan temannya. Beberapa bulan kemudian, sang raja pergi berburu dan meminta prajuritnya untuk tidak perlu menemaninya karena ia ingin sungguh-sungguh menikmati hobinya sendirian. Akan tetapi, di tengah hutan raja ditangkap oleh sekelompok manusia primitif dan siap untuk dikorbankan kepada dewa mereka. Ketika tiba hari pengorbanan seorang prajurit tiba-tiba berteriak untuk menghentikan upacara itu karena dinilai tidak sah. Ketika ditelusuri, ternyata sang raja memiliki salah satu jari yang tidak lengkap sehingga tidak layak untuk dikorbankan kepada dewa mereka. Akhirnya raja pun dibebaskan.

Berdasarkan cerita ini, saya secara pribadi yakin, tanpa mengurangi rasa hormat saya akan tindakan kebaikan dan kemurnian hati kita semua bahwa untuk mengakui kelebihan dan kebijaksanaan seseorang terutama orang tersebut adalah pribadi yang sangat dekat kita sungguh membutuhkan waktu yang lama. Bahkan, terdapat sebagian orang yang sama sekali tidak menerima kenyataan tersebut. Dengan demikian seluruh perjalanan hidupnya penuh dengan ekspresi cemburu dan merasa yang lain adalah ancaman atau saingan bagi dirinya dalam menemukan potensi positif yang terdapat dalam dirinya.

Akibat dari perasaan tersaingi atau ketidakbahagiaan atas keberhasilan orang lain adalah menciptakan gosip agar orang tersebut kehilangan jejak positifnya atau bahkan berusaha mencari pendukung untuk menjelekan sesamanya. Dengan kata lain, kita semakin sulit untuk mengekspresikan rasa syukur lantaran orang tersebut memiliki kemampuan yang membuat orang lain terpukau.

Keadaan seperti ini persis dialami oleh Yesus ketika Ia berada di Nazareth. Kita tahu bahwa Nazaret adalah kota Ia dibesarkan dan itu artinya sebagian orang yang menolak Ia adalah juga teman main atau minimal orang yang mengetahui masa kecil dan situasi keluarga Yesus. Mengapa mereka menolak Yesus? Salah satu alasannya adalah mereka tidak ingin Yesus melebihi mereka atau mereka merasa Yesus yang berasal dari keluarga biasa tidak layak menjadi terkenal.

Maka berdasarkan kisah ini, kita diajak untuk terlebih dahulu menganggap bahwa sesama kita memiliki kemampuan yang sama dengan kita, tetapi juga memiliki perbedaan dengan kita. Melalui pemahaman yang plural ini, kita akan sampai pada suatu kesadaran untuk menerima kelebihan dan kekurangan sesama kita. (Sdr. Banus, OFM)

You may also like...

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *